Prinsip dalam dunia usaha pada umumnya ialah mencari
untung sebesar – besarnya dengan biaya yang seminimal mungkin. Untuk dapat
merealisasikan prinsip tersebut dalam bisnis yang dikelolanya, dibutuhkan
keterampilan manajemen, analisa pasar serta jaringan informasi yang kuat serta
luas.
Tentu untuk mewujudkannya, tentunya tidaklah mudah
sebab terdapat berbagai tantangan yang akan dihadapi seperti adanya pesaing
dengan produk sejenis, pencarian data, mencari suplier yang tepat, memikat hati
target market, dan lain - lain.
Tak jarang beberapa manajer menghalalkan segala cara
untuk dapat merealisasikan prinsip diatas diperusahaan yang dikelolanya.Salah
satunya yang paling terkenal ialah dengan melakukan rekayasa laba.
Secara singkat, rekayasa laba itu sendiri terbagi
menjadi dua pengertian, dimana rekayasa laba versi akuntansi yang mana
dilegalkan menurut Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang berlaku dan rekayasa
laba versi kecurangan yang secara umum pelaku utamanya ialah dari kalangan
manajemen atau petinggi suatu perusahaan.
Menurut Stice (2007), ada 4 alasan yang membuat
manajer melakukan rekayasa laba, yaitu sebagai berikut :
1.
Untuk memenuhi target internal
2.
Memenuhi harapan pihak eksternal
3.
Memberikan perataan laba (income smoothing)
4.
Agar laporan keuangan seolah – olah
tampak baik (window dressing)
Umumnya setiap manajer memiliki target yang harus dicapai dimana terdapat insentif yang besar yang
tentunya akan diterima oleh manajer tersebut jika target tersebut berhasil
dicapai.
Selain itu, tidak jarang situasi dan kondisi sangat
tidak mendukung untuk tercapainya target tersebut seperti adanya bencana alam,
kecelakaan, persaingan yang ketat, iklim bisnis yang memburuk dan lain – lain.
Hal ini lah yang memicu manajer untuk menghalalkan segala cara untuk berhasil
mencapai target tersebut demi menerima bonus yang besar.
Selain motivasi pihak internal, juga terdapat pihak – pihak eksternal yang juga
memiliki hak dan kepentingan terkait suatu perusahaan, seperti investor dan
kreditur. Tentunya seorang investor memiliki ekspektasi tertentu yang dapat
memberikan keuntungan untuk investor tersebut dimasa yang akan datang ketika ia
memutuskan untuk menanamkan modalnya ke dalam suatu perusahaan.
Begitupun juga, kreditur yang juga mengharapkan
kinerja bisnis dari debiturnya dalam keadaan baik sehingga pembayaran utangnya
dapat terjamin. Bahkan tidak menutup kemungkinan para investor ini akan menambah
modalnya atau mengajak pemodal lain ke perusahaan tersebut yang tentunya akan
sangat mempengaruhi kualitas manajer dikalangan pebisnis maupun secara umum.
Hal itulah yang terkadang membuat oknum – oknum manajer tertentu mau
menghalalkan segala cara demi menciptakan kinerja keuangan yang seolah – olah
baik dan bagus.
Menurut Belkoui (2007:73) dalam Gastino (2015) “perataan laba adalah pengurangan
fluktuasi laba dari tahun ke tahun dengan memindahkan pendapatan dari tahun –
tahun yang tinggi pendapatannya ke periode – periode yang kurang
menguntungkan.” Lebih lanjut lagi terkait tujuannya, Koch (1981) dalam Sumarno
dan Heriyanto (2012) mendefinisikan “perataan laba sebagai suatu alat yang
digunakan manajemen untuk mengurangi fluktuasi laba yang dilaporkan agar sesuai
dengan target yang diinginkan.
Terkait kegiatan mempercantik kinerja keuangan atau window
dressing ini yaitu kegiataan
mempercantik tampilan portofolio (oleh manajer investasi) dan laporan keuangan
(oleh perusahaan) sebelum dipublikasikan agar terlihat kinerja keuangan serta
kondisi keuangannya dalam keadaan menguntungkan dan baik serta sehat. Terkait
dengan akuntansi, salah satu cara yang dilakukan untuk mempercantik laporan
keuangan ialah dengan memanfaatkan pendekatan akuntansi yang berbeda dengan
yang lazim digunakan.
Lebih detail lagi Foster (1986) dalam Rahmawati
(2012) menyatakan bahwa tujuan perataan laba antara lain adalah sebagai berikut
:
1.
Memperbaiki citra perusahaan di mata
pihak luar bahwa perusahaan tersebut memiliki risiko yang rendah.
2.
Memberikan informasi yang relevan dalam
melakukan prediksi terhadap laba di masa yang akan datang.
3.
Meningkatkan keputusan relasi bisnis
4.
Meningkatkan persepsi pihak eksternal
terhadap kemampuan manajemen
5.
Meningkatkan kompensasi bagi pihak manajemen.
Saran
dari penulis sendiri, sebaiknya hindari lah yang namanya rekayasa laba dalam
arti kecurangan dan tindakan manipulatif. Sedangkan terkait rekayasa laba yang
tersedia dan dibenarkan dalam aturan akuntansi, maka perlu telaah dengan logika
yang objektif apakah rekayasa tersebut melanggar nilai – nilai kebaikan secara
objektif atau tidak (seperti mengandung unsur penipuan atau manipulatif, dapat
merugikan pihak tertentu dan sebagainya). Berbisnis boleh, tapi yang halal –
halal saja ya.
Semoga
bermanfaat ya... :-)
Comments
Post a Comment